Dia
Aku langsung setuju ketika suamiku bilang bahwa 'Dia' akan menginap disini selama sebulan kedepan. Beratus-ratus luka yang telah 'Dia' goreskan padaku semakin membuatku tak sabar menunggu kedatangan'nya'. Ya! Aku juga akan menggoreskan ratusan luka yang sama seperti yang pernah 'Dia' lakukan padaku.
Aku jahat. Pasti. Itu tuduhan mereka padaku. Mereka tak tahu saja, betapa selama tiga tahun ini menjadi bagian dari keluarga'nya' membuat lukaku semakin berdarah-darah saja.
~~~~~~~~~~~
Juli, 2001
" Mona! Kamu jangan sering tidur! Wanita hamil nggak boleh sering tidur nanti kalo lahiran susah!"
Aku menjauhkan ponsel dari telinga karena mendapati lengkingan suara cempreng itu lagi. Apa yang kukerjakan selalu saja salah.
"Mona!! Itu kamar mandi disikat! Sudah kotor! Jangan malas kalau hamil. Harus banyak gerak!"
Aku beranjak dari tempat tidur untuk menuruti perintahnya. Mau bagaimana lagi? 'Dia' ini diktator. Walaupun aku sedang hamil tua, tidak pernah sedikitpun aku diperbolehkan untuk beristirahat. Jika melihat aku masuk kamar, langsung kalimat perintah itu datang lagi berderet-deret.
Duh Gusti, seandainya aku tinggal dirumah bersama ibuku sendiri, pasti beliau tidak akan menyuruhku untuk bekerja keras sendirian padahal sedang hamil tua.
Aku menghela nafas panjang kemudian membuangnya. Berharap semua beban keluar dan tidak berkembang menjadi luka.
~~~~~~~~~~~
Agustus, 2001
"Bu, Mona udah lahiran. Bayinya cewek."
Kudengar suamiku mengabari'nya' lewat telepon. Hatiku mencelos. Ada rasa tak suka yang hadir. Ada trauma yang juga tiba-tiba muncul mengingat insiden-insiden kemarin yang terjadi.
"Iyakah? Alhamdulillah. Maju dari HPL ya?"
Kudengar suara diseberang terdengar antusias. Entah antusias asli atau antusias yang dibuat-buat. Aku sudah tidak percaya lagi.
Seminggu sudah bayi perempuanku lahir. 'Dia' datang menjenguk dua hari setelah Yuka, bayiku, lahir. Tingkah'nya' semakin lama semakin menjadi. Sok hebat, sok tahu, bahkan bayiku yang masih berumur seminggu sudah dicubit-cubit hidungnya sampai menangis. Biar mancung kata'nya'.
Sorenya, ketika Adzan Maghrib berkumandang, bayiku ditinggal dikamar gelap sendirian, sementara 'Dia' keluar untuk berwudhu.
Ketika kutegur, dengan santainya 'Dia' menjawab tidak apa-apa.
Dua minggu melahirkan, 'Dia' menyuruh kami untuk tinggal dirumah'nya'. Umur bayiku yang masih dua minggu membuatku was-was untuk mengajaknya pergi jarak jauh. Tapi karena 'Dia' ngeyel dan suamiku tak kuasa menolak, akhirnya kutinggalkan rumah Ibuku untuk kerumah'nya' sambil menangis.
Sampai dirumah'nya', bukan istirahat yang kudapatkan. Jika dirumah Ibuku aku tidak boleh mengangkat yang berat-berat karena perutku masih tergolong 'baru' karena habis melahirkan, disini aku disuruh mengangkat air bertimba- timba dan naik turun tangga. Akhirnya, kutelepon Ibuku sambil menangis.
Saat itu, sepertinya aku sudah tidak ada harganya sama sekali. Aku hanya pabrik pembuat Yuka, dan setelah Yuka keluar, aku hanya boleh memegangnya dan menyusuinya sesekali. Bahkan, sempat 'Dia' bilang kalau 'Dia' yang akan merawat Yuka. Yuka harus ditinggal dirumah'nya' lalu kami buat bayi lagi.
~~~~~~~~~~~
Desember, 2004
'Dia' datang ke rumahku dengan kondisi badan layu, kuyu, dan selera humor nol persen. Wajah'nya' seperti memendam berjuta pikiran yang siap menggerogoti nyawa'nya' kapan saja. Jalan'nya' bungkuk. Seperti nenek-nenek usia 90tahun padahal usia'nya' baru setengah abad. Yuka bahkan memanggilnya 'Eyang Uyut'.
Penyakit diabetes telah membuat berat badannya turun banyak, dan juga mengikis sifat jumawanya padaku.
Semua orang bersedih melihat keadaanya tapi tidak denganku. Hatiku bersorak. Tuhan menunjukkan karmanya begitu nyata didepanku.
Dan belum puas dengan karma yang ini, aku sudah mempersiapkan banyak sekali luka yang akan kugores-goreskan kepadanya. Jauh lebih sadis daripada lukaku dulu. Tunggu saja, Ibu Mertuaku.
Belitang, Desember 2018
Fiksi